Sabtu, 11 Juni 2016

"Aku dan Tarbiyah"



Awal perkenalanku dengan tarbiyah, 4 tahun yang lalu, ketika seorang perempuan nan teduh mengenalkanku padanya. Pada saat itu, aku telah duduk di kelas 3 SMA, pada saat umurku hampir 18 tahun. Latar belakang keluargaku bukan dari tarbiyah, tidak ikut organisasi islam yang spesifik, tapi Alhamdulillah bapakku mengajariku tentang agama dengan sangat baik. Sebelum bergabung di tarbiyah, aku tak tahu kalau menutup aurat itu wajib, aku kira hanya orang yang suka jilbab saja yang memakai jilbab. Aku pun begitu, berjilbab yang mulai dari SMP, karena aku suka melihat orang yang berjilbab, dalam hal ini orang terdekatku yang memakai jilbab adalah mama dan tante. Aku juga baru tahu kalau berjilbab tidak boleh nerawang dan harus menutup dada ketika masuk rohis SMA, ketika kelas 3 itu. Akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2012 aku resmi menutup auratku dengan lebih syar’I, mulai menutup dada kala berjilbab, dan mulai memakai kaos kaki.

Awalnya aku belum tertarik bergabung di rohis, karena aku lebih menyukai organisasi lain, seperti English Club, PIK-R, Science Club dan juga OSIS. Mungkin karena pada saat itu aku sudah kelas 3, tak boleh banyak kegiatan lagi karena harus mempersiapkan ujian nasional, dan organisasi yang paling selo adalah rohis. Jadilah aku bergabung di rohis dan diperkenalkan dengan tarbiyah.
Aku ingat sekali, materi yang pertama kali diberikan oleh murobbiyahku adalah materi tentang menutup aurat. Beliau menjelaskan apa saja syarat-syarat dalam menutup aurat, hikmah dibalik menutup aurat, dan sebagainya. Kemudian beliau mengajak kami untuk menghafal AL-Qur’an juz 30. Kami pun berlomba-lomba menghafal surah An-Naba’ yang berjumlah 40 ayat itu hingga selesai. Namun setamat SMA, aku hanya hafal sampe surah Abasa, dan sisanya aku selesaikan ketika tahun pertama di perkuliahan.
Murobbiyahku bilang kalau setamat SMA nanti, kami harus ditransfer ke murobbiyah yang lain. Aku tak mengerti maksudnya, dan beliau pun tak mau menjelaskan. Nanti kalian pasti akan mengerti, begitu katanya.
Ketika pertama kali halaqoh di perkuliahan pun, aku ditanya tentang perbedaan liqo’ dan mentoring. Kamu beneran nggak tahu perbedaannya? mbak murobbiyah baruku bertanya. Iya, aku memang tak tahu perbedaannya kala itu, lagi-lagi karena murobbiyahku tak menjelaskan. Akhirnya aku mengerti perbedaannya. Dan aku pun mengerti kalau anak-anak rohis yang berjauhan dengan murobbi lamanya harus ditransfer atau berganti murobbi agar tarbiyahnya tetap berjalan. Aku kira rohis hanya ada di SMA, ternyata di perkuliahan juga ada. Mungkin pada saat itu, aku masih terbilang anak baru dalam tarbiyah, jadi belum mengerti betul apa itu tarbiyah yang namanya saja baru aku kenal sejak kuliah.
Kali kedua aku liqo’ dengan murobbiyah baruku, aku merasa berbeda dengan mentoring ketika SMA. Belum merasa nyaman, belum merasa kalau ukhuwahnya terjalin kuat, tak seasyik saat di SMA. Pernah kala itu, aku menelepon murobbiyah lamaku dan bilang kalau bisa nggak, aku minta ganti murobbiyah. Tidak sayang, kamu nggak boleh seperti itu. Setiap orang pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Jalani saja, begitulah tarbiyyah, tak selamanya apa yang kamu harapkan, bisa dilakukan orang lain, begitu katanya.
Baiklah, dengan liqo’ yang tidak rutin seminggu sekali seperti di SMA, aku pun selalu datang karena merasa ada yang hilang ketika tidak liqo’. Alasan tidak rutin adalah karena beberapa dari kami ada saja yang mempunyai agenda pada hari yang telah ditentukan untuk bertemu. Kalau aku ditanya kapan bisa liqo’, Kapanpun, aku usahakan datang mbak, begitu jawabku.
Hingga saat ini, sudah 4 tahun aku dalam tarbiyahku ini. Aku merasa masih belum bisa menjadi baik, namun lebih baik daripada 4 tahun yang lalu. Aku masih belum bisa istiqomah dalam hal ibadah, aku merasa ibadahku 1 tahun setelah masuk rohis, lebih baik daripada sekarang. Entahlah, namun aku tetap berusaha memperbaikinya dan mencoba untuk istiqomah. Hal yang paling belum bisa aku lakukan adalah membatasi berinteraksi dengan teman lawan jenisku. Ini hal tersulit, karena di SMA, teman-teman mainku banyak yang laki-laki. Kami jalan-jalan, touring, penelitian ke berbagai tempat, itulah  hobi kami yang sama hingga aku sangat akrab dengan sahabatku yang laki-laki. Malu sebenarnya, karena aku masih belum bisa seperti akhowat yang lain yang sangat menjaga interaksinya dengan para ikhwan. Tapi dibandingkan dengan dulu, yang kalau touring selalu boncengan dengan mereka, Alhamdulillah kini tak pernah lagi berboncengan dengan ikhwan karena aku sudah semakin mengerti. Aku hanya berharap, aku bisa menjalankan apa yang Allah perintahkan dan apa yang dilarangNya, dan agar aku bisa lebih istiqomah di jalan dakwah ini, serta keluargaku dan sahabat-sahabatku selalu diberikan hidayah olehNya.

- Bantul, 11 Juni 2016 -

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Sabtu, 11 Juni 2016

"Aku dan Tarbiyah"



Awal perkenalanku dengan tarbiyah, 4 tahun yang lalu, ketika seorang perempuan nan teduh mengenalkanku padanya. Pada saat itu, aku telah duduk di kelas 3 SMA, pada saat umurku hampir 18 tahun. Latar belakang keluargaku bukan dari tarbiyah, tidak ikut organisasi islam yang spesifik, tapi Alhamdulillah bapakku mengajariku tentang agama dengan sangat baik. Sebelum bergabung di tarbiyah, aku tak tahu kalau menutup aurat itu wajib, aku kira hanya orang yang suka jilbab saja yang memakai jilbab. Aku pun begitu, berjilbab yang mulai dari SMP, karena aku suka melihat orang yang berjilbab, dalam hal ini orang terdekatku yang memakai jilbab adalah mama dan tante. Aku juga baru tahu kalau berjilbab tidak boleh nerawang dan harus menutup dada ketika masuk rohis SMA, ketika kelas 3 itu. Akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2012 aku resmi menutup auratku dengan lebih syar’I, mulai menutup dada kala berjilbab, dan mulai memakai kaos kaki.

Awalnya aku belum tertarik bergabung di rohis, karena aku lebih menyukai organisasi lain, seperti English Club, PIK-R, Science Club dan juga OSIS. Mungkin karena pada saat itu aku sudah kelas 3, tak boleh banyak kegiatan lagi karena harus mempersiapkan ujian nasional, dan organisasi yang paling selo adalah rohis. Jadilah aku bergabung di rohis dan diperkenalkan dengan tarbiyah.
Aku ingat sekali, materi yang pertama kali diberikan oleh murobbiyahku adalah materi tentang menutup aurat. Beliau menjelaskan apa saja syarat-syarat dalam menutup aurat, hikmah dibalik menutup aurat, dan sebagainya. Kemudian beliau mengajak kami untuk menghafal AL-Qur’an juz 30. Kami pun berlomba-lomba menghafal surah An-Naba’ yang berjumlah 40 ayat itu hingga selesai. Namun setamat SMA, aku hanya hafal sampe surah Abasa, dan sisanya aku selesaikan ketika tahun pertama di perkuliahan.
Murobbiyahku bilang kalau setamat SMA nanti, kami harus ditransfer ke murobbiyah yang lain. Aku tak mengerti maksudnya, dan beliau pun tak mau menjelaskan. Nanti kalian pasti akan mengerti, begitu katanya.
Ketika pertama kali halaqoh di perkuliahan pun, aku ditanya tentang perbedaan liqo’ dan mentoring. Kamu beneran nggak tahu perbedaannya? mbak murobbiyah baruku bertanya. Iya, aku memang tak tahu perbedaannya kala itu, lagi-lagi karena murobbiyahku tak menjelaskan. Akhirnya aku mengerti perbedaannya. Dan aku pun mengerti kalau anak-anak rohis yang berjauhan dengan murobbi lamanya harus ditransfer atau berganti murobbi agar tarbiyahnya tetap berjalan. Aku kira rohis hanya ada di SMA, ternyata di perkuliahan juga ada. Mungkin pada saat itu, aku masih terbilang anak baru dalam tarbiyah, jadi belum mengerti betul apa itu tarbiyah yang namanya saja baru aku kenal sejak kuliah.
Kali kedua aku liqo’ dengan murobbiyah baruku, aku merasa berbeda dengan mentoring ketika SMA. Belum merasa nyaman, belum merasa kalau ukhuwahnya terjalin kuat, tak seasyik saat di SMA. Pernah kala itu, aku menelepon murobbiyah lamaku dan bilang kalau bisa nggak, aku minta ganti murobbiyah. Tidak sayang, kamu nggak boleh seperti itu. Setiap orang pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Jalani saja, begitulah tarbiyyah, tak selamanya apa yang kamu harapkan, bisa dilakukan orang lain, begitu katanya.
Baiklah, dengan liqo’ yang tidak rutin seminggu sekali seperti di SMA, aku pun selalu datang karena merasa ada yang hilang ketika tidak liqo’. Alasan tidak rutin adalah karena beberapa dari kami ada saja yang mempunyai agenda pada hari yang telah ditentukan untuk bertemu. Kalau aku ditanya kapan bisa liqo’, Kapanpun, aku usahakan datang mbak, begitu jawabku.
Hingga saat ini, sudah 4 tahun aku dalam tarbiyahku ini. Aku merasa masih belum bisa menjadi baik, namun lebih baik daripada 4 tahun yang lalu. Aku masih belum bisa istiqomah dalam hal ibadah, aku merasa ibadahku 1 tahun setelah masuk rohis, lebih baik daripada sekarang. Entahlah, namun aku tetap berusaha memperbaikinya dan mencoba untuk istiqomah. Hal yang paling belum bisa aku lakukan adalah membatasi berinteraksi dengan teman lawan jenisku. Ini hal tersulit, karena di SMA, teman-teman mainku banyak yang laki-laki. Kami jalan-jalan, touring, penelitian ke berbagai tempat, itulah  hobi kami yang sama hingga aku sangat akrab dengan sahabatku yang laki-laki. Malu sebenarnya, karena aku masih belum bisa seperti akhowat yang lain yang sangat menjaga interaksinya dengan para ikhwan. Tapi dibandingkan dengan dulu, yang kalau touring selalu boncengan dengan mereka, Alhamdulillah kini tak pernah lagi berboncengan dengan ikhwan karena aku sudah semakin mengerti. Aku hanya berharap, aku bisa menjalankan apa yang Allah perintahkan dan apa yang dilarangNya, dan agar aku bisa lebih istiqomah di jalan dakwah ini, serta keluargaku dan sahabat-sahabatku selalu diberikan hidayah olehNya.

- Bantul, 11 Juni 2016 -

Tidak ada komentar :

Posting Komentar