Awal
perkenalanku dengan tarbiyah, 4 tahun yang lalu, ketika seorang perempuan nan
teduh mengenalkanku padanya. Pada saat itu, aku telah duduk di kelas 3 SMA,
pada saat umurku hampir 18 tahun. Latar belakang keluargaku bukan dari
tarbiyah, tidak ikut organisasi islam yang spesifik, tapi Alhamdulillah bapakku
mengajariku tentang agama dengan sangat baik. Sebelum bergabung di tarbiyah,
aku tak tahu kalau menutup aurat itu wajib, aku kira hanya orang yang suka jilbab
saja yang memakai jilbab. Aku pun begitu, berjilbab yang mulai dari SMP, karena
aku suka melihat orang yang berjilbab, dalam hal ini orang terdekatku yang
memakai jilbab adalah mama dan tante. Aku juga baru tahu kalau berjilbab tidak
boleh nerawang dan harus menutup dada ketika masuk rohis SMA, ketika kelas 3
itu. Akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2012 aku resmi menutup auratku dengan
lebih syar’I, mulai menutup dada kala berjilbab, dan mulai memakai kaos kaki.
Awalnya
aku belum tertarik bergabung di rohis, karena aku lebih menyukai organisasi
lain, seperti English Club, PIK-R, Science Club dan juga OSIS. Mungkin karena
pada saat itu aku sudah kelas 3, tak boleh banyak kegiatan lagi karena harus
mempersiapkan ujian nasional, dan organisasi yang paling selo adalah rohis. Jadilah
aku bergabung di rohis dan diperkenalkan dengan tarbiyah.
Aku
ingat sekali, materi yang pertama kali diberikan oleh murobbiyahku adalah
materi tentang menutup aurat. Beliau menjelaskan apa saja syarat-syarat dalam
menutup aurat, hikmah dibalik menutup aurat, dan sebagainya. Kemudian beliau
mengajak kami untuk menghafal AL-Qur’an juz 30. Kami pun berlomba-lomba
menghafal surah An-Naba’ yang berjumlah 40 ayat itu hingga selesai. Namun setamat
SMA, aku hanya hafal sampe surah Abasa, dan sisanya aku selesaikan ketika tahun
pertama di perkuliahan.
Murobbiyahku
bilang kalau setamat SMA nanti, kami harus ditransfer ke murobbiyah yang lain. Aku
tak mengerti maksudnya, dan beliau pun tak mau menjelaskan. “Nanti
kalian pasti akan mengerti”, begitu
katanya.
Ketika
pertama kali halaqoh di perkuliahan pun, aku ditanya tentang perbedaan liqo’
dan mentoring. “Kamu beneran
nggak tahu perbedaannya?” mbak
murobbiyah baruku bertanya. Iya, aku memang tak tahu perbedaannya kala itu,
lagi-lagi karena murobbiyahku tak menjelaskan. Akhirnya aku mengerti perbedaannya.
Dan aku pun mengerti kalau anak-anak rohis yang berjauhan dengan murobbi
lamanya harus ditransfer atau berganti murobbi agar tarbiyahnya tetap berjalan.
Aku kira rohis hanya ada di SMA, ternyata di perkuliahan juga ada. Mungkin pada
saat itu, aku masih terbilang “anak
baru”
dalam tarbiyah, jadi belum mengerti betul apa itu tarbiyah yang namanya saja
baru aku kenal sejak kuliah.
Kali
kedua aku liqo’ dengan murobbiyah baruku, aku merasa berbeda dengan mentoring
ketika SMA. Belum merasa nyaman, belum merasa kalau ukhuwahnya terjalin kuat,
tak seasyik saat di SMA. Pernah kala itu, aku menelepon murobbiyah lamaku dan
bilang kalau bisa nggak, aku minta ganti murobbiyah. “Tidak
sayang, kamu nggak boleh seperti itu. Setiap orang pasti ada kelebihan dan
kekurangannya. Jalani saja, begitulah tarbiyyah, tak selamanya apa yang kamu
harapkan, bisa dilakukan orang lain”,
begitu katanya.
Baiklah,
dengan liqo’ yang tidak rutin seminggu sekali seperti di SMA, aku pun selalu datang
karena merasa ada yang hilang ketika tidak liqo’. Alasan tidak rutin adalah
karena beberapa dari kami ada saja yang mempunyai agenda pada hari yang telah
ditentukan untuk bertemu. Kalau aku ditanya kapan bisa liqo’, “Kapanpun,
aku usahakan datang mbak”, begitu
jawabku.
Hingga
saat ini, sudah 4 tahun aku dalam tarbiyahku ini. Aku merasa masih belum bisa
menjadi baik, namun lebih baik daripada 4 tahun yang lalu. Aku masih belum bisa
istiqomah dalam hal ibadah, aku merasa ibadahku 1 tahun setelah masuk rohis,
lebih baik daripada sekarang. Entahlah, namun aku tetap berusaha memperbaikinya
dan mencoba untuk istiqomah. Hal yang paling belum bisa aku lakukan adalah membatasi
berinteraksi dengan teman lawan jenisku. Ini hal tersulit, karena di SMA,
teman-teman mainku banyak yang laki-laki. Kami jalan-jalan, touring, penelitian
ke berbagai tempat, itulah hobi kami yang
sama hingga aku sangat akrab dengan sahabatku yang laki-laki. Malu sebenarnya,
karena aku masih belum bisa seperti akhowat yang lain yang sangat menjaga
interaksinya dengan para ikhwan. Tapi dibandingkan dengan dulu, yang kalau
touring selalu boncengan dengan mereka, Alhamdulillah kini tak pernah lagi
berboncengan dengan ikhwan karena aku sudah semakin mengerti. Aku hanya
berharap, aku bisa menjalankan apa yang Allah perintahkan dan apa yang dilarangNya,
dan agar aku bisa lebih istiqomah di jalan dakwah ini, serta keluargaku dan
sahabat-sahabatku selalu diberikan hidayah olehNya.
- Bantul, 11 Juni 2016 -
Tidak ada komentar :
Posting Komentar