Assalamu'alaykum wr.wb.
Udah lama nggak blogging, jadi kangen. Tapi karena belum sempet cerita macem-macem, jadi aku ngepost cerpenku yang bakalan ditempel di mading JAA aja yaaa. Janji deh entar liburan, aku sharing lagi. Enjoy !
“Momen Malam Ini”
Malam mulai menambah kehitamannya.
Gelap yang kian mengental. Jangkrik bersorak-sorai bergantian dengan senangnya
mengira tetes-tetes bening dari langit akan turun. Mataku mulai lelah membaca
setiap lembaran kertas yang berada di hadapanku. Kudengar suara televisi yang
masih saja semangat menghibur mereka yang ingin merelaksasikan syaraf-syaraf
otaknya.
Sekarang tepat dua jam menjelang
pukul 00.00. Kurasa sama saja dengan pukul 00.00 di hari-hari sebelumnya. Hanya
saja pukul 00.00 kali ini mereka anggap berbeda karena kalender yang tertempel
di dinding mereka akan diganti dengan yang baru. Sudah menjadi tradisi kalau
momen pergantian tahun ini dipenuhi dengan dentuman suara-suara yang
mengejutkan hati yang membuatku tak bisa memejamkan mata walau sekejap, namun memang
berujung indah. Campuran lithium, barium, kalium, dan beberapa atom lain yang
menghasilkan cahaya berkilauan dengan bermacam warna itulah yang menjadi sebuah
kenikmatan tersendiri bagi para kaula yang rela menghabiskan uangnya untuk merayakan
sebuah malam yang mereka sebut “Tahun Baru”. Tak terkecuali teman di sebelah
kamarku, yang sedari pukul 18.00 tadi sudah bersiap dengan dandanan yang aduhai
menunggu temannya menjemputnya untuk bersuka ria menyambut malam ini. Kulihat
ia mencoba meniup terompet yang dibelinya tadi, suaranya tak sekeras yang ia
inginkan. Rasa kesal tampak di guratan keningnya, terlihat ia menyesal kenapa
tak mencoba meniupnya dahulu ketika membelinya. Terompet berwarna merah itu ia
hempaskan ke meja belajarnya, tak jadi ia masukkan ke tas. Terompet yang
malang. Tak tahukah ia bahwa setiap terompet pasti dicoba terlebih dahulu
suaranya oleh mulut pembuatnya? Bagaimana jika pembuatnya mengidap penyakit
menular, hepatitis misalnya? Bukan su’udzon, tetapi salahkah kita jika harus
tetap waspada walaupun itu hanya hal sepele yang kemungkinannya hanya 0,001%
terjadi pada kita?
Anak desa yang lugu sepertiku, yang tak
tau apa itu tahun baru lebih memilih melahap buku-buku setebal lima jari itu
daripada harus membuang-buang uang yang kian menipis di ujung bulan ini. Cukup
memandang dari kejauhan bunga-bunga api yang silih berganti yang memancarkan
cahanya digelapnya malam ini. Seingatku, di kampung dulu kami tak pernah
merayakan pergantian tahun seperti di kota ini. Kalender dari Pak Dukuh pun
baru dibagikan sebulan kemudian setelah tanggal 1 di bulan Januari karena Pak
Dukuh hanya sebulan sekali ke kota yang jaraknya butuh 3 kali pindah kapal, itu
pun jika cuacanya bagus. Kalau musim hujan seperti sekarang, tak ada nelayan
yang berani melintasi pulau untuk ke kota.
Suara televisi di ruang tengah masih
terdengar. Satu menit menjelang pukul 00.00. Pembawa acara televisi itu pun
mulai mengajak para penonton di studionya untuk menghitung mundur 10 detik
terakhir, sepuluh... sembilan... delapan... tujuh... enam... lima... empat...
tiga... dua... satu... dan teeeet, teeetttt, teeettt, mereka secara serempak
meniup terompet yang diberikan produser acara tersebut secara gratis. Kembang
api yang terbesar pun dinyalakan demi memberikan kepuasan bagi para
penontonnya. Tak tau berapakah harga kembang api nan indah dengan durasi waktu
yang lama itu, yang sungguh sangat berharga jika itu diberikan kepada mereka
yang kelaparan di malam ini. Dan betapa malangnya mereka yang terkena musibah
di akhir tahun ini harus melihat keceriaan orang-orang di luar sana yang
tertawa senang menyambut hari pertama di tahun ini sementara mereka harus
menahan duka karena kehilangan sanak saudara tercinta.
Betapa, meriahnya malam ini tak
membuat hatiku meriah. Malam yang sama saja dengan malam-malam yang sebelumnya.
Lima belas menit dari kemeriahan itu, mataku masih saja belum mau menutup.
Kuambil buku tulis bergambar bunga Lily yang kubeli setahun yang lalu itu. Buku
yang kusebut buku impian, ingin rasanya kutuliskan sesuatu. Mungkin aku harus
menyusun rencana kembali untuk 365 hari ke depan dari penanggalan Masehi yang
dibuat Julius Caesar ini. Rencana besar yang ingin kulakukan. Rencana impianku
selanjutnya. [ALiputIn]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar