Minggu, 23 Oktober 2011

Cerpen pertamaku (kasih koment nya ya)

Dia yang Kucari
By : Aisyah Liputa Indeka



                                Namaku Ayesha. Lengkapnya Ayesha Marshantia. Aku nggak tau kenapa orang tuaku ngasih nama itu. Tapi, aku suka nama itu. Menurutku, nama itu pasti mengandung arti. Orang tuaku tidak mungkin asal-asalan memberi nama, karena nama adalah do’a yang diharapkan oleh setiap orang tua pada anaknya.

Sehari-hari aku lebih sering dipanggil Echa. Itulah panggilan sayang yang diberikan oleh bundaku.
Aku seorang anak tunggal tanpa ayah. Ayahku meninggal saat aku berumur 9 tahun, karena tumor otak yang ganas itu. Aku dan bundaku merasa kesepian sepeninggal ayahku. Sekarang, bundaku menggantikan posisi ayahku mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Aku kasihan pada bunda. Ia bekerja pontang-panting demi aku, demi pendidikanku, dan demi semuanya. Aku berusaha membantunya semampuku, menghiburnya saat ia sedih, memijat kakinya saat ia letih. Namun, aku merasa belum berbuat apa-apa kepada bundaku. Aku janji, suatu saat nanti, aku akan melihatnya tersenyum, karena keberhasilanku. Aku janji bunda.
“Echaaaaaa, banguuuuuun ! Udah jam 7.00 Cha, kamu nggak sekolah ?” teriak bunda dari dapur. Aku belum juga bangun. “Ayesha Marshantia !” bundaku berteriak kembali untuk membangunkanku. “Iya, bunda, bentar !” Aku pun dengan terpaksa untuk membuka mata. Sebenarnya aku masih ngantuk, tapi aku bergegas mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah.
Teng teng teng, bel masuk pun berbunyi. Teman-temanku yang ada di SMA N 1 Bengkulu Selatan pun berlarian memasuki kelas-kelas mereka. Ada yang sedang asyik makan di kantin, ada yang masih memarkirkan motor, dan ada juga yang sedang berusaha mati-matian merayu pak satpam agar pintu gerbang dibuka kembali. Aku juga memasuki kelasku, di kelas X F.
Selang  5 menit kemudian, Pak Tarno, salah seorang guru Kimia di SMA kami masuk ke kelas X F dengan gagahnya. “Anak-anak, tolong keluarkan PR kalian yang bapak berikan minggu belakang ! Bagi yang tidak membawa atau tidak mengerjakan, dipersilahkan untuk maju ke depan”, kata Pak Tarno. Minggu belakang, Pak Tarno memberikan PR Kimia tentang hidrokarbon, yang harus dikumpul hari ini. Tapi, ya ampun, aku lupa. Novti juga minta buatin PR. Ya Allah, gimana nih, Novti bisa marah sama aku.
Ternyata, Novti beneran marah sama aku. “Heh Cha, mana PR gue ?” tanya Novti padaku. Dia duduk sebangku denganku. Dia orang kaya, tapi selalu ngeremehin orang yang nggak mampu kayak aku.  Aku pengen ngebales kesombongannya, tapi aku berusaha untuk sabar dan mengalah dulu. “Astaghfirullah, aku lupa Ti, bener aku lupa banget”, jawabku. “Alaaaaah, alasan aja loe, gue tu mau PRnya, bukan alasan yang gak jelas dari loe !” bisik Novti dengan sedikit membentak. “Bener Ti, aku lupa banget, aku semalam bantuin ibuku masak kue, jadinya aku kecapekan dan aku ketiduran. Bener Ti, sumpah, aku lupa. PRku aja aku nggak buat”, aku berusaha untuk meminta maaf. “Eh, Cha, gue udah bayar loe tau, nggak ada rasa terima kasihnya ya loe. Nyesel gue berteman kayak orang yang nggak tau diri kayak loe”, katanya dengan kembali meremehkan aku. Aku berulang kali meminta maaf, namun dia selalu menolak permintaan maafku. Sampai-sampai, dia mengajakku untuk membicarakan hal ini selesai pelajaran Pak Tarno nanti. Kayaknya dia benar-benar marah. Pak Tarno memberikan hukuman pada kami berdua, karena tidak membuat PR, dengan menyuruh untuk menulis kata “Saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi” sebanyak 100 kata. Tanganku rasanya mau patah gara-gara nulis kata-kata itu.
Selesai pelajaran Pak Tarno, Novti mengajakku ke belakang sekolah untuk membicarakan hal tadi. Ia mengajak teman se-genknya yang lain, Elyna dan Raufel. Sebenarnya, aku termasuk genk mereka, tetapi, mereka tidak pernah menganggapku sebagai anggota dari mereka.
“Eh Cha, aku udah berunding sama Elyna dan Raufel untuk ngeluarin loe dari genk kita. Gue pengen loe nggak usah gabung sama kita lagi, nggak usah ngikutin kita lagi, dan nggak usah turutin semua kegiatan kita”, bentak Novti padaku. Sambil berusaha untuk bersabar, aku menjawab pertanyaannya, “Kalau memang itu keputusan kalian, aku terima. Aku juga udah bosen disuruh-suruh terus ama kamu. Kamu itu hanya bisa manfaatin aku. Sekarang, terserah kamulah, mau ngeluarin aku. Emang.. Aku itu orang miskin, yang bisa dimanfaatin.” “Heh, jangan asal ngomong ya loe, gue nggak manfaatin loe, gue cuma minta tolong sama loe, denger ya, MINTA TOLONG !” bentaknya. Novti mencoba untuk menampar pipiku, tapi Elyn dan Raufel berusaha untuk memisahkan kami. “Udahlah Ti, nggak usahlah ngurusin orang yang nggak penting kayak dia. Kita tetap bisa kok, hidup tanpa dia”, bela Elyna.
Rasanya, aku pengen banget njambak rambut dia sekuatnya, sampe putus. Huh, tapi aku nggak pengen gara-gara perkara kecil ini, bundaku dipanggil kepala sekolah.
Aaaaahhhhh. Kenapa sih mereka ? Apa salahku ? Aku merasa mereka cuma manfaatin aku. Ya, mereka beruntung, mereka banyak uang. Sedangkan aku ? Seorang gadis miskin yang nggak punya teman, yang sok pengen berkuasa di sekolah. Aku punya apa ? Aku nggak punya apa-apa untuk dibanggain. Aku miskin, jelek, bodoh. Ya Allah, kenapa engkau melahirkan aku seperti ini ? Kenapa nggak Novti aja? Atau Elyn dan Raufel ? Biar mereka bisa ngerasain betapa nggak enaknya jadi aku. Aku nggak punya teman, kakak, saudara yang mau ndengerin aku.
Tapi, siapa sih yang tau kalau aku sedih ? Siapa sih yang peduli ? Mereka semua nggak peduli. Aku hanya butuh teman. Teman yang peduli denganku. Teman yang menerimaku apa adanya. Teman yang mengerti perasaanku. Teman yang ada tidak hanya pada saat aku senang, namun juga ada saat aku sedih. Aku ingin teman, bukan pacar, tapi hanya teman, teman yang kusebut sahabat sejati.
Tapi apa ? Aku merasa nggak pernah punya teman. Aku merasa aku hidup sendiri. Aku merasa tidak ada yang peduli padaku.
Ah, sudahlah, sahabat sejati itu takkan pernah ada dalam hidupku, takkan pernah, takkan pernaaaaaaah…
Kuisi buku diaryku yang berwarna biru itu dengan luapan kekesalanku. Buku itu kubeli saat aku berumur 13 tahun. Sekarang, buku itu hampir habis. Dan kuakhiri penulisanku.
Dalam keheningan malam, aku pun mulai terlelap. Dalam tidurku, aku bermimpi ada seorang perempuan yang mengajakku untuk bermain di taman di samping rumahku. Aku dan perempuan itu bermain dengan riangnya. Kami mengejar kupu-kupu yang terbang dari tempat persembunyiannya. “Echa, ayo kesini”, kata perempuan itu. “Iya, ayo kejar, kupu-kupunya”, jawabku.
Tak beberapa lama, teriakkan bunda membangunkanku. Ada yang aneh dengan sikap bunda. Sikapnya berbeda dengan hari-hari biasanya. Dia menjadi lebih perhatian dari biasanya. “Nak, tadi malam bunda nemuin buku diarymu, yang tinggal di kursi tamu. Itu kan barang pribadimu. Kenapa kamu tinggal ? Nanti dibaca orang lo”, tanya bunda padaku. “Apa bun, ketinggalan ? Mungkin terjatuh saat aku mau masuk kamar. Sekarang bukunya di mana bun ?” tanyaku. “Oo, udah bunda taruh di lemarimu. Kamu ada masalah ya ? Kok nggak cerita sama bunda?” “Mmm.. Iya bun. Novti ngeluarin aku dari genk. Padahal aku nggak salah apa-apa bunda. Sebenarnya, ceritanya gini bun, Novti minta buatin PR sama aku, trus dia ngebayar aku. Tapi, kok bunda tau sih kalo aku ada masalah?“ “Bunda lirik sedikit buku diarymu. Nak, kita memang nggak punya apa-apa, tapi kita masih punya harga diri. Walaupun kamu dibayar, seharusnya, kamu tolak permintaan Novti itu. Kamu nggak usah deh bergaul sama orang kayak dia. Cari teman yang lain aja, yang lebih baik dari dia” katanya. “Iya bun, aku juga bosan temenan sama dia.”
Kuartikan mimpiku yang semalam. Perempuan, seorang perempuan, ya, itu bunda, perempuan itu mirip bunda. Aku merasa perempuan itu adalah sahabat sejatiku. Aku telah menemukan sahabat sejatiku. Bunda, ya, hanya bunda yang ada saat aku sedih dan ada masalah. Hanya bunda yang perhatian sama aku. Hanya bunda yang mau dengerin curhatku. “Bunda, aku sayang bunda. Aku nggak bisa hidup tanpa bunda. Maafin aku bunda, karena aku nggak pernah perhatian sama bunda,” aku mengatakan kata-kata itu sambil berlari memeluk bunda. “Bunda juga sayang Echa. Walaupun kita hidup tanpa ayah, bunda harap Echa nggak putus asa untuk menghadapi hidup ini. Bunda yakin, suatu saat, Echa akan nemuin sahabat sejati Echa. Echa harus buat bunda bangga dengan prestasi Echa, nak. Ayah juga pasti bangga melihat Echa berhasil. Jangan kecewain bunda ya, nak !” Bunda juga memelukku. Kami berdua saling berpelukkan dengan beruraian air mata. Dengan sedikit berbisik, bunda memberitahu arti dari namaku. Arti namaku sederhana, tapi itulah yang diharapkan orang tuaku. “Ayesha” berarti ‘Hidup dan Sehat’, Marshantia, diambil dari nama lumut hati ‘Marchantia’ yang berguna untuk mengobati penyakit liver (hati). Mereka mengharapkan aku agar hidup menjadi pengobat hati bagi setiap orang.
Pencarianku berakhir. Ternyata, sahabat yang kucari-cari selama ini ada di dekatku. Bunda, dia sahabatku. Aku janji bunda, aku nggak bakalan ngecewain bunda. Aku janji aku akan berhasil.



“Lihatlah teman melalui hatinya, bukan hanya melalui kepandaian, fisik, dan materi yang mereka punya.”

1 komentar :

  1. I'm so glad you visit my blog..
    Thanks for your promotion. I will do.

    I am a student from Indonesia
    Aisyah

    BalasHapus

Minggu, 23 Oktober 2011

Cerpen pertamaku (kasih koment nya ya)

Dia yang Kucari
By : Aisyah Liputa Indeka



                                Namaku Ayesha. Lengkapnya Ayesha Marshantia. Aku nggak tau kenapa orang tuaku ngasih nama itu. Tapi, aku suka nama itu. Menurutku, nama itu pasti mengandung arti. Orang tuaku tidak mungkin asal-asalan memberi nama, karena nama adalah do’a yang diharapkan oleh setiap orang tua pada anaknya.

Sehari-hari aku lebih sering dipanggil Echa. Itulah panggilan sayang yang diberikan oleh bundaku.
Aku seorang anak tunggal tanpa ayah. Ayahku meninggal saat aku berumur 9 tahun, karena tumor otak yang ganas itu. Aku dan bundaku merasa kesepian sepeninggal ayahku. Sekarang, bundaku menggantikan posisi ayahku mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Aku kasihan pada bunda. Ia bekerja pontang-panting demi aku, demi pendidikanku, dan demi semuanya. Aku berusaha membantunya semampuku, menghiburnya saat ia sedih, memijat kakinya saat ia letih. Namun, aku merasa belum berbuat apa-apa kepada bundaku. Aku janji, suatu saat nanti, aku akan melihatnya tersenyum, karena keberhasilanku. Aku janji bunda.
“Echaaaaaa, banguuuuuun ! Udah jam 7.00 Cha, kamu nggak sekolah ?” teriak bunda dari dapur. Aku belum juga bangun. “Ayesha Marshantia !” bundaku berteriak kembali untuk membangunkanku. “Iya, bunda, bentar !” Aku pun dengan terpaksa untuk membuka mata. Sebenarnya aku masih ngantuk, tapi aku bergegas mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah.
Teng teng teng, bel masuk pun berbunyi. Teman-temanku yang ada di SMA N 1 Bengkulu Selatan pun berlarian memasuki kelas-kelas mereka. Ada yang sedang asyik makan di kantin, ada yang masih memarkirkan motor, dan ada juga yang sedang berusaha mati-matian merayu pak satpam agar pintu gerbang dibuka kembali. Aku juga memasuki kelasku, di kelas X F.
Selang  5 menit kemudian, Pak Tarno, salah seorang guru Kimia di SMA kami masuk ke kelas X F dengan gagahnya. “Anak-anak, tolong keluarkan PR kalian yang bapak berikan minggu belakang ! Bagi yang tidak membawa atau tidak mengerjakan, dipersilahkan untuk maju ke depan”, kata Pak Tarno. Minggu belakang, Pak Tarno memberikan PR Kimia tentang hidrokarbon, yang harus dikumpul hari ini. Tapi, ya ampun, aku lupa. Novti juga minta buatin PR. Ya Allah, gimana nih, Novti bisa marah sama aku.
Ternyata, Novti beneran marah sama aku. “Heh Cha, mana PR gue ?” tanya Novti padaku. Dia duduk sebangku denganku. Dia orang kaya, tapi selalu ngeremehin orang yang nggak mampu kayak aku.  Aku pengen ngebales kesombongannya, tapi aku berusaha untuk sabar dan mengalah dulu. “Astaghfirullah, aku lupa Ti, bener aku lupa banget”, jawabku. “Alaaaaah, alasan aja loe, gue tu mau PRnya, bukan alasan yang gak jelas dari loe !” bisik Novti dengan sedikit membentak. “Bener Ti, aku lupa banget, aku semalam bantuin ibuku masak kue, jadinya aku kecapekan dan aku ketiduran. Bener Ti, sumpah, aku lupa. PRku aja aku nggak buat”, aku berusaha untuk meminta maaf. “Eh, Cha, gue udah bayar loe tau, nggak ada rasa terima kasihnya ya loe. Nyesel gue berteman kayak orang yang nggak tau diri kayak loe”, katanya dengan kembali meremehkan aku. Aku berulang kali meminta maaf, namun dia selalu menolak permintaan maafku. Sampai-sampai, dia mengajakku untuk membicarakan hal ini selesai pelajaran Pak Tarno nanti. Kayaknya dia benar-benar marah. Pak Tarno memberikan hukuman pada kami berdua, karena tidak membuat PR, dengan menyuruh untuk menulis kata “Saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi” sebanyak 100 kata. Tanganku rasanya mau patah gara-gara nulis kata-kata itu.
Selesai pelajaran Pak Tarno, Novti mengajakku ke belakang sekolah untuk membicarakan hal tadi. Ia mengajak teman se-genknya yang lain, Elyna dan Raufel. Sebenarnya, aku termasuk genk mereka, tetapi, mereka tidak pernah menganggapku sebagai anggota dari mereka.
“Eh Cha, aku udah berunding sama Elyna dan Raufel untuk ngeluarin loe dari genk kita. Gue pengen loe nggak usah gabung sama kita lagi, nggak usah ngikutin kita lagi, dan nggak usah turutin semua kegiatan kita”, bentak Novti padaku. Sambil berusaha untuk bersabar, aku menjawab pertanyaannya, “Kalau memang itu keputusan kalian, aku terima. Aku juga udah bosen disuruh-suruh terus ama kamu. Kamu itu hanya bisa manfaatin aku. Sekarang, terserah kamulah, mau ngeluarin aku. Emang.. Aku itu orang miskin, yang bisa dimanfaatin.” “Heh, jangan asal ngomong ya loe, gue nggak manfaatin loe, gue cuma minta tolong sama loe, denger ya, MINTA TOLONG !” bentaknya. Novti mencoba untuk menampar pipiku, tapi Elyn dan Raufel berusaha untuk memisahkan kami. “Udahlah Ti, nggak usahlah ngurusin orang yang nggak penting kayak dia. Kita tetap bisa kok, hidup tanpa dia”, bela Elyna.
Rasanya, aku pengen banget njambak rambut dia sekuatnya, sampe putus. Huh, tapi aku nggak pengen gara-gara perkara kecil ini, bundaku dipanggil kepala sekolah.
Aaaaahhhhh. Kenapa sih mereka ? Apa salahku ? Aku merasa mereka cuma manfaatin aku. Ya, mereka beruntung, mereka banyak uang. Sedangkan aku ? Seorang gadis miskin yang nggak punya teman, yang sok pengen berkuasa di sekolah. Aku punya apa ? Aku nggak punya apa-apa untuk dibanggain. Aku miskin, jelek, bodoh. Ya Allah, kenapa engkau melahirkan aku seperti ini ? Kenapa nggak Novti aja? Atau Elyn dan Raufel ? Biar mereka bisa ngerasain betapa nggak enaknya jadi aku. Aku nggak punya teman, kakak, saudara yang mau ndengerin aku.
Tapi, siapa sih yang tau kalau aku sedih ? Siapa sih yang peduli ? Mereka semua nggak peduli. Aku hanya butuh teman. Teman yang peduli denganku. Teman yang menerimaku apa adanya. Teman yang mengerti perasaanku. Teman yang ada tidak hanya pada saat aku senang, namun juga ada saat aku sedih. Aku ingin teman, bukan pacar, tapi hanya teman, teman yang kusebut sahabat sejati.
Tapi apa ? Aku merasa nggak pernah punya teman. Aku merasa aku hidup sendiri. Aku merasa tidak ada yang peduli padaku.
Ah, sudahlah, sahabat sejati itu takkan pernah ada dalam hidupku, takkan pernah, takkan pernaaaaaaah…
Kuisi buku diaryku yang berwarna biru itu dengan luapan kekesalanku. Buku itu kubeli saat aku berumur 13 tahun. Sekarang, buku itu hampir habis. Dan kuakhiri penulisanku.
Dalam keheningan malam, aku pun mulai terlelap. Dalam tidurku, aku bermimpi ada seorang perempuan yang mengajakku untuk bermain di taman di samping rumahku. Aku dan perempuan itu bermain dengan riangnya. Kami mengejar kupu-kupu yang terbang dari tempat persembunyiannya. “Echa, ayo kesini”, kata perempuan itu. “Iya, ayo kejar, kupu-kupunya”, jawabku.
Tak beberapa lama, teriakkan bunda membangunkanku. Ada yang aneh dengan sikap bunda. Sikapnya berbeda dengan hari-hari biasanya. Dia menjadi lebih perhatian dari biasanya. “Nak, tadi malam bunda nemuin buku diarymu, yang tinggal di kursi tamu. Itu kan barang pribadimu. Kenapa kamu tinggal ? Nanti dibaca orang lo”, tanya bunda padaku. “Apa bun, ketinggalan ? Mungkin terjatuh saat aku mau masuk kamar. Sekarang bukunya di mana bun ?” tanyaku. “Oo, udah bunda taruh di lemarimu. Kamu ada masalah ya ? Kok nggak cerita sama bunda?” “Mmm.. Iya bun. Novti ngeluarin aku dari genk. Padahal aku nggak salah apa-apa bunda. Sebenarnya, ceritanya gini bun, Novti minta buatin PR sama aku, trus dia ngebayar aku. Tapi, kok bunda tau sih kalo aku ada masalah?“ “Bunda lirik sedikit buku diarymu. Nak, kita memang nggak punya apa-apa, tapi kita masih punya harga diri. Walaupun kamu dibayar, seharusnya, kamu tolak permintaan Novti itu. Kamu nggak usah deh bergaul sama orang kayak dia. Cari teman yang lain aja, yang lebih baik dari dia” katanya. “Iya bun, aku juga bosan temenan sama dia.”
Kuartikan mimpiku yang semalam. Perempuan, seorang perempuan, ya, itu bunda, perempuan itu mirip bunda. Aku merasa perempuan itu adalah sahabat sejatiku. Aku telah menemukan sahabat sejatiku. Bunda, ya, hanya bunda yang ada saat aku sedih dan ada masalah. Hanya bunda yang perhatian sama aku. Hanya bunda yang mau dengerin curhatku. “Bunda, aku sayang bunda. Aku nggak bisa hidup tanpa bunda. Maafin aku bunda, karena aku nggak pernah perhatian sama bunda,” aku mengatakan kata-kata itu sambil berlari memeluk bunda. “Bunda juga sayang Echa. Walaupun kita hidup tanpa ayah, bunda harap Echa nggak putus asa untuk menghadapi hidup ini. Bunda yakin, suatu saat, Echa akan nemuin sahabat sejati Echa. Echa harus buat bunda bangga dengan prestasi Echa, nak. Ayah juga pasti bangga melihat Echa berhasil. Jangan kecewain bunda ya, nak !” Bunda juga memelukku. Kami berdua saling berpelukkan dengan beruraian air mata. Dengan sedikit berbisik, bunda memberitahu arti dari namaku. Arti namaku sederhana, tapi itulah yang diharapkan orang tuaku. “Ayesha” berarti ‘Hidup dan Sehat’, Marshantia, diambil dari nama lumut hati ‘Marchantia’ yang berguna untuk mengobati penyakit liver (hati). Mereka mengharapkan aku agar hidup menjadi pengobat hati bagi setiap orang.
Pencarianku berakhir. Ternyata, sahabat yang kucari-cari selama ini ada di dekatku. Bunda, dia sahabatku. Aku janji bunda, aku nggak bakalan ngecewain bunda. Aku janji aku akan berhasil.



“Lihatlah teman melalui hatinya, bukan hanya melalui kepandaian, fisik, dan materi yang mereka punya.”

1 komentar :

  1. I'm so glad you visit my blog..
    Thanks for your promotion. I will do.

    I am a student from Indonesia
    Aisyah

    BalasHapus