Senin, 05 Januari 2015

“Momen Malam Ini”


Assalamu'alaykum wr.wb.
Udah lama nggak blogging, jadi kangen. Tapi karena belum sempet cerita macem-macem, jadi aku ngepost cerpenku yang bakalan ditempel di mading JAA aja yaaa. Janji deh entar liburan, aku sharing lagi. Enjoy !

“Momen Malam Ini”

Malam mulai menambah kehitamannya. Gelap yang kian mengental. Jangkrik bersorak-sorai bergantian dengan senangnya mengira tetes-tetes bening dari langit akan turun. Mataku mulai lelah membaca setiap lembaran kertas yang berada di hadapanku. Kudengar suara televisi yang masih saja semangat menghibur mereka yang ingin merelaksasikan syaraf-syaraf otaknya.

Sekarang tepat dua jam menjelang pukul 00.00. Kurasa sama saja dengan pukul 00.00 di hari-hari sebelumnya. Hanya saja pukul 00.00 kali ini mereka anggap berbeda karena kalender yang tertempel di dinding mereka akan diganti dengan yang baru. Sudah menjadi tradisi kalau momen pergantian tahun ini dipenuhi dengan dentuman suara-suara yang mengejutkan hati yang membuatku tak bisa memejamkan mata walau sekejap, namun memang berujung indah. Campuran lithium, barium, kalium, dan beberapa atom lain yang menghasilkan cahaya berkilauan dengan bermacam warna itulah yang menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi para kaula yang rela menghabiskan uangnya untuk merayakan sebuah malam yang mereka sebut “Tahun Baru”. Tak terkecuali teman di sebelah kamarku, yang sedari pukul 18.00 tadi sudah bersiap dengan dandanan yang aduhai menunggu temannya menjemputnya untuk bersuka ria menyambut malam ini. Kulihat ia mencoba meniup terompet yang dibelinya tadi, suaranya tak sekeras yang ia inginkan. Rasa kesal tampak di guratan keningnya, terlihat ia menyesal kenapa tak mencoba meniupnya dahulu ketika membelinya. Terompet berwarna merah itu ia hempaskan ke meja belajarnya, tak jadi ia masukkan ke tas. Terompet yang malang. Tak tahukah ia bahwa setiap terompet pasti dicoba terlebih dahulu suaranya oleh mulut pembuatnya? Bagaimana jika pembuatnya mengidap penyakit menular, hepatitis misalnya? Bukan su’udzon, tetapi salahkah kita jika harus tetap waspada walaupun itu hanya hal sepele yang kemungkinannya hanya 0,001% terjadi pada kita?
Anak desa yang lugu sepertiku, yang tak tau apa itu tahun baru lebih memilih melahap buku-buku setebal lima jari itu daripada harus membuang-buang uang yang kian menipis di ujung bulan ini. Cukup memandang dari kejauhan bunga-bunga api yang silih berganti yang memancarkan cahanya digelapnya malam ini. Seingatku, di kampung dulu kami tak pernah merayakan pergantian tahun seperti di kota ini. Kalender dari Pak Dukuh pun baru dibagikan sebulan kemudian setelah tanggal 1 di bulan Januari karena Pak Dukuh hanya sebulan sekali ke kota yang jaraknya butuh 3 kali pindah kapal, itu pun jika cuacanya bagus. Kalau musim hujan seperti sekarang, tak ada nelayan yang berani melintasi pulau untuk ke kota.
Suara televisi di ruang tengah masih terdengar. Satu menit menjelang pukul 00.00. Pembawa acara televisi itu pun mulai mengajak para penonton di studionya untuk menghitung mundur 10 detik terakhir, sepuluh... sembilan... delapan... tujuh... enam... lima... empat... tiga... dua... satu... dan teeeet, teeetttt, teeettt, mereka secara serempak meniup terompet yang diberikan produser acara tersebut secara gratis. Kembang api yang terbesar pun dinyalakan demi memberikan kepuasan bagi para penontonnya. Tak tau berapakah harga kembang api nan indah dengan durasi waktu yang lama itu, yang sungguh sangat berharga jika itu diberikan kepada mereka yang kelaparan di malam ini. Dan betapa malangnya mereka yang terkena musibah di akhir tahun ini harus melihat keceriaan orang-orang di luar sana yang tertawa senang menyambut hari pertama di tahun ini sementara mereka harus menahan duka karena kehilangan sanak saudara tercinta.
Betapa, meriahnya malam ini tak membuat hatiku meriah. Malam yang sama saja dengan malam-malam yang sebelumnya. Lima belas menit dari kemeriahan itu, mataku masih saja belum mau menutup. Kuambil buku tulis bergambar bunga Lily yang kubeli setahun yang lalu itu. Buku yang kusebut buku impian, ingin rasanya kutuliskan sesuatu. Mungkin aku harus menyusun rencana kembali untuk 365 hari ke depan dari penanggalan Masehi yang dibuat Julius Caesar ini. Rencana besar yang ingin kulakukan. Rencana impianku selanjutnya. [ALiputIn]

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Senin, 05 Januari 2015

“Momen Malam Ini”


Assalamu'alaykum wr.wb.
Udah lama nggak blogging, jadi kangen. Tapi karena belum sempet cerita macem-macem, jadi aku ngepost cerpenku yang bakalan ditempel di mading JAA aja yaaa. Janji deh entar liburan, aku sharing lagi. Enjoy !

“Momen Malam Ini”

Malam mulai menambah kehitamannya. Gelap yang kian mengental. Jangkrik bersorak-sorai bergantian dengan senangnya mengira tetes-tetes bening dari langit akan turun. Mataku mulai lelah membaca setiap lembaran kertas yang berada di hadapanku. Kudengar suara televisi yang masih saja semangat menghibur mereka yang ingin merelaksasikan syaraf-syaraf otaknya.

Sekarang tepat dua jam menjelang pukul 00.00. Kurasa sama saja dengan pukul 00.00 di hari-hari sebelumnya. Hanya saja pukul 00.00 kali ini mereka anggap berbeda karena kalender yang tertempel di dinding mereka akan diganti dengan yang baru. Sudah menjadi tradisi kalau momen pergantian tahun ini dipenuhi dengan dentuman suara-suara yang mengejutkan hati yang membuatku tak bisa memejamkan mata walau sekejap, namun memang berujung indah. Campuran lithium, barium, kalium, dan beberapa atom lain yang menghasilkan cahaya berkilauan dengan bermacam warna itulah yang menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi para kaula yang rela menghabiskan uangnya untuk merayakan sebuah malam yang mereka sebut “Tahun Baru”. Tak terkecuali teman di sebelah kamarku, yang sedari pukul 18.00 tadi sudah bersiap dengan dandanan yang aduhai menunggu temannya menjemputnya untuk bersuka ria menyambut malam ini. Kulihat ia mencoba meniup terompet yang dibelinya tadi, suaranya tak sekeras yang ia inginkan. Rasa kesal tampak di guratan keningnya, terlihat ia menyesal kenapa tak mencoba meniupnya dahulu ketika membelinya. Terompet berwarna merah itu ia hempaskan ke meja belajarnya, tak jadi ia masukkan ke tas. Terompet yang malang. Tak tahukah ia bahwa setiap terompet pasti dicoba terlebih dahulu suaranya oleh mulut pembuatnya? Bagaimana jika pembuatnya mengidap penyakit menular, hepatitis misalnya? Bukan su’udzon, tetapi salahkah kita jika harus tetap waspada walaupun itu hanya hal sepele yang kemungkinannya hanya 0,001% terjadi pada kita?
Anak desa yang lugu sepertiku, yang tak tau apa itu tahun baru lebih memilih melahap buku-buku setebal lima jari itu daripada harus membuang-buang uang yang kian menipis di ujung bulan ini. Cukup memandang dari kejauhan bunga-bunga api yang silih berganti yang memancarkan cahanya digelapnya malam ini. Seingatku, di kampung dulu kami tak pernah merayakan pergantian tahun seperti di kota ini. Kalender dari Pak Dukuh pun baru dibagikan sebulan kemudian setelah tanggal 1 di bulan Januari karena Pak Dukuh hanya sebulan sekali ke kota yang jaraknya butuh 3 kali pindah kapal, itu pun jika cuacanya bagus. Kalau musim hujan seperti sekarang, tak ada nelayan yang berani melintasi pulau untuk ke kota.
Suara televisi di ruang tengah masih terdengar. Satu menit menjelang pukul 00.00. Pembawa acara televisi itu pun mulai mengajak para penonton di studionya untuk menghitung mundur 10 detik terakhir, sepuluh... sembilan... delapan... tujuh... enam... lima... empat... tiga... dua... satu... dan teeeet, teeetttt, teeettt, mereka secara serempak meniup terompet yang diberikan produser acara tersebut secara gratis. Kembang api yang terbesar pun dinyalakan demi memberikan kepuasan bagi para penontonnya. Tak tau berapakah harga kembang api nan indah dengan durasi waktu yang lama itu, yang sungguh sangat berharga jika itu diberikan kepada mereka yang kelaparan di malam ini. Dan betapa malangnya mereka yang terkena musibah di akhir tahun ini harus melihat keceriaan orang-orang di luar sana yang tertawa senang menyambut hari pertama di tahun ini sementara mereka harus menahan duka karena kehilangan sanak saudara tercinta.
Betapa, meriahnya malam ini tak membuat hatiku meriah. Malam yang sama saja dengan malam-malam yang sebelumnya. Lima belas menit dari kemeriahan itu, mataku masih saja belum mau menutup. Kuambil buku tulis bergambar bunga Lily yang kubeli setahun yang lalu itu. Buku yang kusebut buku impian, ingin rasanya kutuliskan sesuatu. Mungkin aku harus menyusun rencana kembali untuk 365 hari ke depan dari penanggalan Masehi yang dibuat Julius Caesar ini. Rencana besar yang ingin kulakukan. Rencana impianku selanjutnya. [ALiputIn]

Tidak ada komentar :

Posting Komentar